Liputanntb.com- Mekkah al-Mukarramah—Sebuah tanah yang disucikan, dijaga kesuciannya sejak zaman Nabi Ibrahim AS, dan menjadi pusat ibadah umat Islam hingga akhir zaman. Di tanah haram inilah, lahir sosok paling mulia yang pernah menginjakkan kaki di bumi: Nabi Muhammad SAW. Seorang utusan Allah yang membawa risalah kasih sayang dan kebenaran bagi semesta alam.
Baca Juga:Merajut Cinta kepada Rasulullah SAW melalui Khatmil Quran: Peringatan Maulid Nabi di Masjid Al-Mujtahidin Monjok
Namun, sejarah juga mencatat bahwa di tanah yang sama, lahir seorang manusia berhati durhaka: Abu Lahab. Meski memiliki hubungan darah sebagai paman Nabi, ia menjadi salah satu musuh terbesar Islam. Namanya diabadikan dalam Al-Qur’an sebagai peringatan bagi mereka yang menolak kebenaran:
“Binasalah kedua tangan Abu Lahab dan sesungguhnya dia akan binasa.”
(QS. Al-Lahab: 1)
Kontras ini menjadi pelajaran berharga bahwa kesucian tempat tidak menjamin kesucian hati. Mekkah yang mulia tidak serta-merta melahirkan manusia yang mulia. Karena kemuliaan sejati tidak terletak pada tempat lahir, tetapi pada keimanan dan akhlak seseorang.
Sebagaimana firman Allah:
“Sesungguhnya orang yang paling mulia di sisi Allah adalah orang yang paling bertakwa di antara kalian.”
(QS. Al-Hujurat: 13)
Mekkah tetap suci, namun manusianya diuji. Ada yang menapaki jalan kenabian, ada pula yang memilih jalan kesesatan.
Maka, tak cukup bersandar pada asal-usul dan tempat lahir setiap manusia dituntut membuktikan kemuliaannya melalui amal dan takwa.
Maka dari itu, fenomena ini menunjukkan satu pelajaran penting: semulia apa pun tanah tempat lahir seseorang, tidak menjamin kemuliaan hati dan amalnya. Mekkah yang suci menjadi saksi betapa kemuliaan tempat tidak selalu sejalan dengan kemuliaan penghuninya.
Tanah mulia, belum tentu manusianya mulia. Karena kemuliaan sejati lahir dari iman, akhlak, dan ketundukan kepada Allah, bukan semata dari nasab ataupun tempat tinggal.
(Abi)