Liputanntb.com – Hidup sering kali menghadirkan cerita di luar nalar. Itulah yang dialami oleh Dr. Hafidz, seorang dokter spesialis THT lulusan Universitas Indonesia dan alumni spesialis dari Singapura. Di tengah hiruk-pikuk dunia medis yang glamor, ia memilih jalur berbeda hidup sederhana di bawah kolong jembatan Demak, dekat makam Sunan Kalijaga.
Bukan karena keterpaksaan, tapi karena panggilan jiwa. Hafidz mendirikan sebuah pondok bambu yang dia bangun sendiri dengan bantuan warga sekitar. Ia terbuka bagi siapa saja yang datang, menyambut dengan keramahan dan ketenangan.
“Di sini lebih tenang rasanya,” ucapnya lembut, mencerminkan kedamaian batin yang mendalam. Namun ketenangan itu dibayar mahal. Setelah lulus kuliah kedokteran hanya dalam waktu 1 tahun 7 bulan, Hafidz sempat berkelana—hingga ke Italia selama 4 tahun. Setelah kembali ke Indonesia, ia membuka apotek bersama istri di Jember.
Namun takdir berkata lain. Dalam waktu yang tidak berjauhan, Hafidz kehilangan tiga orang tercinta sekaligus: ibunya, istrinya, dan sopir keluarga dalam kecelakaan lalu lintas. Tiga tahun setelahnya, anak semata wayangnya, seorang Hafidz Quran yang baru pulang dari kuliah di Jerman, juga meninggal karena kecelakaan.
Duka yang dalam tak membuatnya menyalahkan Tuhan. Dengan penuh keikhlasan, ia berkata,
“Allah Maha Kuasa, lebih sayang dari saya. Mungkin dengan begitu, Engkau mengurangi bebanku.”
Sejak itu, Hafidz memutuskan meninggalkan semua urusan duniawi. Ia menyerahkan sekolah yang dulu ia bangun kepada adiknya, dan memulai perjalanan spiritual. Suara misterius yang ia dengar saat memegang Al-Qur’an membawanya ke Kadilangu, Demak. Sosok berjubah dan berblangkon, yang ia yakini sebagai Sunan Kalijaga, terus memberinya petunjuk.
Kini, tujuan hidupnya hanya satu: beribadah dan menjalin hubungan yang utuh dengan Sang Pencipta.