Liputanntb.com – MATARAM, 10 Juni 2025 – Tingkat partisipasi pendidikan di Provinsi Nusa Tenggara Barat (NTB) dinilai masih memprihatinkan. Berdasarkan data Badan Pusat Statistik (BPS) NTB tahun 2024, sejumlah indikator seperti Angka Partisipasi Kasar (APK), Rata-rata Lama Sekolah (RLS), dan Harapan Lama Sekolah (HLS) belum menunjukkan kemajuan yang signifikan, bahkan mengalami penurunan di beberapa wilayah.
Baca:Beasiswa NTB Tetap Dilanjutkan, Mekanisme dan Kriteria Akan Ditata ulang lebih Tepat
Angka Partisipasi Kasar untuk jenjang SMA/sederajat di NTB tercatat sebesar 101,26 persen, mengalami penurunan dari capaian tertinggi sebelumnya yang mencapai 115 persen pada tahun 2021. Beberapa daerah bahkan masih di bawah angka tersebut, seperti Kabupaten Sumbawa Barat (91,3%), Bima (90,7%), Dompu (96,4%), dan Lombok Utara (96,2%). Dilansir databoks.katadata.co.id
Selain itu, Rata-rata Lama Sekolah (RLS) penduduk usia ≥ 25 tahun di NTB pada tahun 2024 hanya mencapai 7,87 tahun, meningkat tipis dari tahun sebelumnya yang sebesar 7,74 tahun. Angka ini menunjukkan bahwa mayoritas penduduk dewasa NTB hanya menamatkan pendidikan sampai kelas 1 atau 2 SMP. Sementara itu, Harapan Lama Sekolah (HLS) untuk anak berusia 7 tahun berada pada angka 13,98 tahun, belum mencapai standar pendidikan tinggi.
Ketimpangan juga terlihat di tingkat kabupaten/kota. RLS tertinggi tercatat di Kota Bima (10,95 tahun), disusul Kota Mataram (9,56 tahun), Sumbawa Barat (8,98 tahun), Dompu (8,97 tahun), dan Sumbawa (8,52 tahun). Sebaliknya, Lombok Timur (7,12 tahun) dan Lombok Utara (6,39 tahun) menjadi dua daerah dengan RLS terendah.
Hasbi: Pemerintah Baru Harus Fokus ke Pendidikan
Menanggapi kondisi tersebut, pengamat pendidikan NTB yang juga kandidat doktor Ilmu Pendidikan, Hasbi, mendorong agar pemerintahan terpilih Iqbal–Dinda menjadikan sektor pendidikan sebagai prioritas utama.
“Transisi dari sekolah dasar ke menengah dan tinggi belum optimal. Infrastruktur saja tidak cukup. Butuh beasiswa daerah, transportasi gratis, dan penguatan sekolah berbasis komunitas di pelosok,” kata Hasbi saat dimintai tanggapan di Mataram, Senin (10/6).
Hasbi menekankan bahwa akar permasalahan tidak hanya pada aspek fasilitas, tetapi juga kesadaran masyarakat dan dukungan ekonomi terhadap anak usia sekolah. Menurutnya, diperlukan intervensi nyata dari pemerintah provinsi untuk menciptakan keadilan akses pendidikan.