Di sisi lain, Kurikulum MU (Teacher-Centered Curriculum) berorientasi pada guru sebagai pusat pengelolaan pembelajaran. Guru memiliki kontrol penuh atas materi dan metode yang digunakan, memungkinkan stabilitas dan efisiensi dalam proses pendidikan, terutama di daerah dengan keterbatasan fasilitas. Namun, pendekatan ini berisiko membuat pembelajaran kurang relevan bagi siswa karena cenderung didominasi oleh sudut pandang guru. Ketika kreativitas dan partisipasi siswa tidak dioptimalkan, pembelajaran dapat menjadi monoton dan kurang menarik.
Sementara itu, Kurikulum KITA (Collaborative Curriculum) hadir sebagai model berbasis kolaborasi, melibatkan siswa, guru, orang tua, dan komunitas dalam menciptakan kurikulum yang inklusif dan relevan. Pendekatan ini menekankan pembelajaran berbasis proyek dan pengembangan keterampilan kolaboratif, yang sangat dibutuhkan di abad ke-21. Kurikulum KITA juga memungkinkan integrasi kearifan lokal dengan kebutuhan global, menjadikannya model yang ideal untuk menciptakan generasi yang tanggap terhadap isu-isu lokal dan internasional. Meski membutuhkan koordinasi yang kompleks, pendekatan ini menawarkan keseimbangan antara kebutuhan individu, kontribusi guru, dan aspirasi masyarakat.