“Contoh kasus, dana operasional minggu pertama baru dicairkan pada minggu ketiga, itupun setelah diminta berkali-kali. Ini bertentangan dengan SOP. Ketika dapur sudah mulai berjalan, dana harus segera tersedia, bukan malah menyusahkan mitra,” jelasnya.
Satgas MBG juga mengungkap bahwa terdapat kasus di mana oknum SPPI bertindak sebagai supplier bahan pangan di wilayah kerjanya sendiri, seperti menjual susu kepada mitra SPPG di salah satu kabupaten di Pulau Lombok.
Selain itu, tekanan juga dirasakan oleh para akunting, ahli gizi, dan asisten lapangan. Beberapa di antara mereka bahkan memilih mundur dari program. Dalam salah satu kasus, SPPI disebut mengganti akunting tanpa pembenahan sistem dan kemudian mengelola keuangan secara tertutup, bahkan melarang mitra mengetahui alur pengeluaran dana.
“Kami sangat menyayangkan pola-pola seperti ini. Ini bukan hanya tidak etis, tapi juga mengkhianati semangat utama Program MBG yang dirancang Presiden untuk meningkatkan kualitas SDM bangsa,” tegas Dr. Aka.
Masalah ini juga menjadi perhatian serius Gubernur NTB, yang mendukung langkah tegas Satgas MBG. Pemerintah Provinsi NTB secara resmi meminta agar seluruh bentuk penyimpangan segera dihentikan.
Satgas pun membuka ruang pengaduan bagi mitra dan pelaksana lapangan yang mengalami tekanan atau merasa diperlakukan tidak adil. Dr. Aka menegaskan bahwa semua laporan akan ditelusuri lebih lanjut, termasuk koordinasi dengan BGN Regional NTB, bahkan jika perlu dilanjutkan ke tingkat pusat.
“Kami berharap masyarakat juga aktif mengawasi agar program ini berjalan jujur dan transparan. Mitra jangan takut melapor,” serunya.
Program MBG sendiri merupakan program nasional strategis yang menyasar pemenuhan gizi anak-anak Indonesia, termasuk balita, pelajar, serta ibu hamil dan menyusui. Karena itu, pelaksanaannya harus dijalankan secara profesional, bersih, dan akuntabel, tanpa intervensi yang mencederai tujuan utama program baik di NTB maupun secara nasional.