LiputanNTB.com – Lombok Tengah | Tradisi pernikahan suku Sasak menyimpan banyak nilai pendidikan sosial yang patut diwariskan lintas generasi. Di Dusun Toro, Desa Penujak, Kecamatan Praya Barat, Lombok Tengah, dua prosesi penting pasca-akad nikah Bejango dan Sorong Serah Aji Krame masih hidup sebagai lambang adat yang sarat makna dan nilai karakter.

Dalam perbincangan hangat bersama Kepala Dusun Toro, Fahmi Ramli, di sela kegiatan adat, terungkap satu pesan penting: budaya bukan hanya untuk dilestarikan, tetapi untuk dididikkan.
“Bejango itu bentuk penghormatan dari pihak keluarga laki-laki kepada keluarga perempuan. Setelah akad atau begawe (resepsi), pengantin pria diantar kembali ke rumah keluarga perempuan. Ini bukan seremoni kosong, tapi cara kami menjalin dan menjaga silaturahmi secara adat,” jelas Fahmi.
Ia menambahkan, bejango bersifat khidmat dan sederhana, berbeda dengan nyongkolan yang biasanya lebih meriah dan terbuka. Dalam bejango, nilai-nilai kesopanan, penghargaan, tanggung jawab, dan adab diwariskan secara langsung.
Sorong Serah Aji Krame: Simbol Sakral Adat
Setelah prosesi bejango, masyarakat Toro menjalankan tradisi Sorong Serah Aji Krame prosesi simbolik yang menggambarkan penyerahan tanggung jawab atas mempelai perempuan kepada keluarga suaminya, sekaligus penguatan spiritual dari orang tua.
“Tradisi ini mengandung nilai sangat tinggi. Anak perempuan kembali ke rumah orang tuanya setelah menikah, bukan karena pindah, tapi untuk menerima doa, wejangan, dan restu secara adat. Ini bagian dari penghormatan lintas generasi,” jelas Fahmi.
Sorong Serah Aji Krame diyakini sebagai lambang kesucian dan keabsahan ikatan pernikahan dalam pandangan adat Sasak. Melalui prosesi ini, keluarga besar menyatu dalam rasa dan doa, bukan hanya dalam hukum negara atau agama.