Liputanntb.com – Oleh: Lalu Rohadi Rahman, Kandidat Doktor UIN Mataram, dan Dosen di salah satu perguruan tinggi di NTB
Biaya pendidikan yang semakin tinggi di Indonesia menjadi keluhan utama masyarakat, dari jenjang dasar hingga perguruan tinggi. Ironisnya, tingginya biaya ini bukan hanya persoalan permintaan dan penawaran, tetapi lebih jauh menyangkut masalah operasional lembaga pendidikan, khususnya lembaga swasta, dan lemahnya tata kelola regulasi pendidikan nasional.
Baca Juga:NTB Akan Dipecah Jadi 3 Provinsi Baru? Ini Potensi, Harapan, Tantangan, dan Pandangan Tokoh Daerah
Berbeda dengan sekolah negeri yang mendapatkan alokasi anggaran dari negara, lembaga pendidikan swasta harus menanggung seluruh kebutuhan operasionalnya secara mandiri. Dari pembiayaan gaji tenaga pendidik, pengadaan sarana prasarana, hingga biaya pelatihan dan peningkatan mutu layanan pendidikan—semuanya menjadi beban lembaga. Tak heran bila lembaga pendidikan swasta, demi bertahan hidup, terpaksa menarik biaya tinggi dari peserta didik. Bukan karena semata-mata ingin mencari keuntungan, melainkan karena sistem memaksa mereka untuk bertahan dengan cara itu.
Hal ini diperparah di jenjang perguruan tinggi. Skema Uang Kuliah Tunggal (UKT) yang diterapkan di banyak kampus negeri, yang seharusnya meringankan beban mahasiswa, justru kerap menjadi sumber tekanan ekonomi. UKT ditentukan bukan hanya berdasarkan kemampuan ekonomi mahasiswa, tetapi juga kebutuhan operasional kampus yang terus meningkat, sementara dukungan negara sering kali tidak memadai.
Persoalan ini juga bersinggungan langsung dengan pengelolaan dana pendidikan nasional. Pasal 49 ayat (1) Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional menegaskan bahwa anggaran pendidikan minimal 20 persen dari APBN dan APBD. Namun, kenyataan di lapangan menunjukkan bahwa pengelolaan dana ini tidak selalu profesional. Banyak kasus dugaan penyimpangan dana pendidikan yang dilakukan oleh oknum, mulai dari markup proyek hingga penyalahgunaan wewenang. Akibatnya, dana yang seharusnya memperkuat mutu pendidikan dan meringankan biaya pendidikan justru tidak berdampak signifikan kepada masyarakat.
Lebih jauh, masalah ini juga terkait dengan aspek regulatif. Permendikbud Nomor 36 Tahun 2014 tentang Pendirian, Perubahan, dan Penutupan Satuan Pendidikan mensyaratkan aspek legalitas berbasis badan hukum dan kemampuan finansial. Dalam praktiknya, ini membuat lembaga pendidikan, terutama swasta, harus berbadan hukum usaha, yang pada akhirnya menuntut orientasi pada keberlanjutan dan bahkan keuntungan. Ketika pendidikan diperlakukan sebagai unit bisnis, maka tak pelak logika komersialisasi pun merasuki sistem pendidikan kita.
Inilah realitas yang kita hadapi: lembaga pendidikan swasta menghadapi tekanan besar dalam operasional, negara belum hadir secara optimal untuk mendukung keberlanjutan mereka, dan regulasi justru mendorong pendidikan ke arah pasar. Akibatnya, biaya pendidikan semakin tinggi, dan akses masyarakat terhadap pendidikan bermutu menjadi terbatas.
Jika bangsa ini serius ingin mewujudkan pendidikan yang merata dan terjangkau, maka dua hal harus segera dibenahi. Pertama, negara harus memperkuat peran subsidi dan afirmasi terhadap lembaga pendidikan swasta. Kedua, sistem regulasi dan pengelolaan anggaran pendidikan harus direformasi agar bebas dari praktik penyalahgunaan dan lebih berpihak kepada kepentingan publik.
Pendidikan bukan barang dagangan. Ia adalah hak dasar yang dijamin konstitusi. Dan negara, bersama seluruh pemangku kepentingan, memiliki tanggung jawab untuk memastikan bahwa setiap warga negara dapat mengakses pendidikan tanpa terbebani biaya yang mencekik.