Categories: Artikel

Setelah Demo di Sumbawa, Dialog Panas di Mataram: Benarkah Meritokrasi Iqbal-Dinda Hanya Gimik Politik?

Selanjutnya, Akademisi Fisip Universitas 45 Mataram sekaligus Pengamat Politik, Dr. Alfisyahrin menerangkan perihal kaidah dasar dalam prinsip meritokrasi.

Ia menuturkan, dalam realitasnya, meritokrasi tidak mudah dilaksanakan di tengah konfigurasi politik.

Menurutnya, Gubernur dan Wakil Gubernur lahir dari produk politik.

“Meritokrasi ini sebetulnya bukan barang baru, yang pada praktiknya lazim dalam kekuasaan kita; ini tidak mudah dilaksanakan. Setidaknya sulit menemukan momentum,” jelasnya.

“Mengapa? Karena dalam platform kekuasaan kita, itu diatur oleh instrumen-instrumen lain yang mengendalikan setiap keputusan, termasuk mesin birokrasi,” imbuhnya.

Alfisyahrin mengaku, ada patronase kekuasaan yang menjerat pejabat publik. Hal ini berimplikasi pada pengendalian birokrasi berdasarkan pengaruh. Dalam konteks NTB, ia tetap melihat praktik meritokrasi sulit dilakukan.

“Di NTB, kita belum menemukan dalil logis mengapa kebijakan ini jadi arus utama di awal kepemimpinan Iqbal-Dinda,” paparnya.

Alfisyahrin mengungkap, kekuasaan seringkali terjerat atau dipengaruhi oleh operasi “back stage” atau panggung belakang kekuasaan.

“Meritokrasi jadi sebatas teori. Tetapi di belakang panggung, tetap ada ruang akomodasi kepentingan.”

“Ada ruang pengaruh kepentingan,” jelasnya.

Secara spesifik, Alfisyahrin menilai, mutasi pejabat yang dilakukan Iqbal-Dinda beberapa pekan lalu belum mencerminkan prinsip-prinsip meritokrasi.

“Mutasi kemarin belum sepenuhnya mencerminkan prinsip meritokrasi. Kalau kita lihat rekam jejak dari 72 pejabat, ada beberapa pejabat yang tidak mencerminkan esensi meritokrasi. Kalau saya lihat, baru 40 persen prinsip meritokrasi dijalankan,” paparnya.

Bangunan penting dalam meritokrasi, kata Alfisyahrin, adalah tiga hal, yakni kapabilitas, prestasi, dan kualifikasi. Alfisyahrin khawatir, narasi meritokrasi yang selama ini disampaikan Iqbal hanya sebatas untuk memanipulasi kesadaran publik.

Padahal, dalam realitasnya, di tengah pragmatisme politik, kebijakan kekuasaan tidak lagi steril dari kepentingan politik, termasuk kepentingan transaksional.

Page: 1 2 3 4

liputanntb.com

Recent Posts

Ternyata Segini Gaji PNS Terbaru Agustus 2025, Cukup Buat Hidup Layak?

Liputanntb.com - Mulai 1 Agustus 2025, pemerintah mulai mencairkan gaji pokok PNS setelah penyesuaian kenaikan…

2 minggu ago

5 Daftar Beasiswa S1–S3 yang Masih Buka pada Agustus 2025, Cek Syarat dan Link Daftarnya!

Liputanntb.com - Agustus 2025 menjadi bulan krusial bagi para pelajar dan mahasiswa yang tengah berburu…

2 minggu ago

Cekcok Soal Ponsel Berujung Maut, Suami di Praya Serahkan Diri Usai Tewaskan Istri

Liputannntb.com - PRAYA – Sebuah pertengkaran rumah tangga di Lingkungan Kekere, Kelurahan Semayan, Kecamatan Praya,…

2 minggu ago

Dokter UI Tinggalkan Segalanya Demi Hidup di Kolong Jembatan

Liputanntb.com - Hidup sering kali menghadirkan cerita di luar nalar. Itulah yang dialami oleh Dr.…

2 minggu ago

Tanam Jagung, Panen Ilmu: UI dan UNU NTB Satukan Langkah di Mataram

Liputanntb.com - Mataram. Universitas Nahdlatul Ulama Nusa Tenggara Barat (UNU NTB) kembali menjadi tuan rumah bagi…

2 minggu ago

Ditinggal Setelah Berjasa: Buruh Bangunan Kuliahkan Istri hingga Jadi PNS, Kini Dicerai karena Status Sosial

Liputanntb.com - Sebuah kisah menguras emosi publik tengah viral di media sosial. Seorang pria yang…

2 minggu ago